BENTURAN ISLAM DAN TRADISI JAWA
“ BUKA LUWUR “
Indonesia
adalah negara yang memiliki keanekaragaman bahasa, suku, agama, serta budaya.
Setiap pulau maupun bagian wilayah yang ada di Indonesia, memiliki kebudayaan
tersendiri. Budaya sendiri menurut KBBI ialah pikiran, akal budi atau adat
istiadat. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.[1]
Berbicara
mengenai budaya, Jawa memiliki keunikan tersendiri. Diantaranya ialah slametan. Slametan menjadi sarana untuk
menampung berbagai maksud yang mempunyai makna sosial. Slametan ini berkaitan dengan siklus kehidupan, mulai dari
kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian (Geertz, 1960).[2]
Namun, hal ini menimbulkan banyak pertentangan antara masyarakat “puritan”,
yakni masyarakat Islam yang ingin meningkatkan kadar keislaman masyarakat agar
menjadi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dengan cara menolak takhayul, bid’ah, dan khurafat.[3] Banyak
dari tokoh-tokoh masyarakat yang menjalankan adat ataupun tradisi Jawa dengan
tujuan yang keliru. Dikatakan keliru dikarenakan, mereka melakukan tradisi
tersebut dengan harapan akan mendatangkan berkah, keselamatan, atau yang
lainnya. Perlu kita ingat bahwa hal tersebut sudah melanggar larangan Alloh
SWT. Tradisi yang dilakukan dengan tujuan tersebut, dapat dikatakan sebagai
suatu dosa syirik. Syirik ialah
menyekutukan Alloh, yakni mengharapkan sesuatu kepada selain Alloh SWT. Seringkali
kita menemui tradisi – tradisi atau adat istiadat yang bertentangan dengan
agama Islam, sebab tradisi-tradisi tersebut sebagian besar merupakan
peninggalan dari ajaran Hindu-Budha.
Sebagai contoh seperti kliping di depan tadi,
yakni tradisi buka luwur. Tradisi buka luwur adalah ritual
penggantian kain kelambu/kain
mori (luwur) yang digunakan untuk membungkus nisan, cungkup, makam,
serta bangunan di sekitar makam. Tradisi
ini biasa dilakukan pada 1 Muharam. Sebagian
masyarakat percaya bahwa luwur/kain mori bekas
dari Makam Pantaran membawa berkah dan
rejeki bagi yang
mempunyai karena di dalam
kain mori tersebut mengalir doa-doa,
tahlil, dan bacaan
Al-Quran dari peziarah
Makam Ki Ageng Pantaran.
Mereka juga beranggapan
bahwa kain mori
bekas Makam Ki Ageng
Pantaran dapat dijadikan sebagai jimat
bagi orang yang menyimpan. Nasi bungkus (nasi
keranjang/sego jangkrik) yang diperoleh
pada waktu ritual Buka Luwur dipercaya berkhasiat.
Kepercayaan masyarakat bagi yang makan nasi tersebut akan terjaga kesehatannya.
Jika nasi itu dikeringkan dan ditabur di sawah/tanah, maka akan memberikan
kesuburan. Nasi yang telah dikeringkan, ditumbuk hingga halus, kemudian
dicampur dengan pakan ternak, akan membuat ternak tersebut sehat dan cepat berkembang
biak.
Indonesia
adalah negara dengan jumlah umat Islam terbanyak dan terbesar di dunia, masih
melakukan hal-hal atau tradisi yang bukan dari ajaran agama Islam sendiri,
melainkan akulturasi dari ajaran Hindu-Budha. Perpaduan Islam Jawa yang telah
dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Jawa masa lampau ternyata
memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan budaya Jawa. Budaya Jawa
semakin diperkaya dengan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi
dan pedoman kehidupan bagi masyarakaat pendukungnya. Perpaduan budaya Jawa
Islam tersebut tumbuh dan berkembang serta diterima oleh hampir seluruh
kalangan. Apabila melihat kasus di atas, tentunya kita sebagai umat muslim
merasa sangat miris dan khawatir. Terutama bagi masyarakat Jawa yang memang
masih sangat mempertahankan tradisi tersebut. Di dalam Islam sendiri,
tradisi-tradisi tersebut sama sekali tidak ada tuntunan/ajaran dari nabi. Bagi
masyarakat yang masih mempercayai atau bahkan masih melakukan hal-hal tersebut,
sulit diajak kembali kepada tuntunan yang benar. Hal ini dikarenakan mereka
belum mengerti Islam secara sebenar-benarnya. Mereka hanya melanjutkan tradisi
atau adat istiadat yang diwarisi oleh nenek moyang mereka, dengan berharap
mendapatkan berkah, keselamatan, dan sebagainya. Di dalam Islam sendiri sudah
jelas mengatakan bahwa, tradisi-tradisi tersebut tidak ada tuntunannya. Banyak
dari masyarakat maupun tokoh-tokoh adat yang mengatakan bahwa, tradisi itu
harus dilestarikan karena ini merupakan peninggalan dan merupakan warisan
budaya nenek moyang kita dahulu. Namun alangkah baiknya jikalau tradisi ataupun
adat-istiadat yang saat ini masih dilakukan, harus dibersihkan dahulu dari
unsur-unsur kemusyrikan.
Di jaman
Rasulullah dahulu, tidak ada tradisi yang seperti itu. Akan tetapi, di
Indonesia sendiri Jawa khususnya, hampir selalu memadukan antara tradisi
ataupun adat istiadat dengan agama Islam, seperti mengadakan slametan dengan dibumbui membaca
ayat-ayat Al-Quran, tahlilan, doa-doa, dan sebagainya. Perlu diperhatikan, kita sebagai umat Islam
tentunya dalam setiap melakukan suatu ibadah harus berdasarkan tuntunan.
Pentingnya belajar kebudayaan ialah kita mengetahui sejarah tradisi – tradisi
di jaman dahulu. Bagaimanakah asal-usul tradisi atau adat istiadat tersebut.
Sehingga kita akan mengetahui manakah yang tradisi ajaran Islam, dan manakah
tradisi yang bukan dari ajaran Islam. Apabila kita sudah mengetahui asal-usul
dari budaya atau tradisi tersebut, kita akan lebih mampu untuk memisahkan
antara tradisi Jawa dan Islam. Namun, yang menjadi perhatian kita saat ini
ialah, mengapa sulit sekali untuk mengubah kebiasaan yang ada di dalam
masyarakat.
Tentunya
hal tersebut dilandaskan oleh beberapa faktor, yakni: pertama ialah faktor
masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang sudah lama tinggal di daerah tersebut,
tentu telah diwarisi oleh bapak-bapak atau leluhur mereka yang terdahulu, tanpa
mencari tahu terlebih dahulu, apakah tradisi itu ada di jaman Rosululloh
dahulu, ataukah Rosul pernah melakukannya. Benturan Islam dengan budaya Jawa
saat ini menjadi perhatian yang bagi
kita yang berperan sebagai umat Islam dan mahasiswa khususnya. Kita harus mampu
menceritakan kembali tentang budaya - budaya atau tradisi – tradisi yang hanya
diajarkan di dalam agama Hindu-Budha. Karena apa, sebab masyarakat kita sendiri
khususnya di daerah Jawa masih sulit untuk membedakan antara tradisi
Hindu-Budha dengan Islam. Kedua, yakni faktor lingkungan
sekitar. Lingkungan dimana kita saling berinteraksi dan bersosialisasi.
Biasanya lingkungan sangat berpengaruh dalam hal ini. Kita berusaha untuk
menunjukkan bahwa tradisi atau adat tersebut memang bukanlah hasil dari ajaran
Islam, melainkan dari ajaran Hindu-Budha. Akan tetapi, lingkungan masyarakat di
sekitar kita tersebut tetap mengaggap bahwa itu adalah tradisi dan adat dari
nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu secara turun temurun dan kita harus
tetap melestarikan serta tidak boleh meninggalkannya. Lingkungan yang tidak
mendukung ini pula menjadi salah satu faktor sulitnya mengembalikan ajaran
Islam yang sebenarnya.
Sering
kita temui, apabila ada seseorang yang tidak mau untuk menjalankan ataupun
mengikuti tradisi yang bercampur dengan kemusyrikan, tetapi apa tanggapan dari
masyarakat? Mereka malah mengucilkan orang tersebut, meraka menganggap bahwa
orang tersebut tidak mau bermasyarakat, tidak mau melestarikan tradisi dan adat
dari nenek moyang. Padahal apa yang dilakukan oleh orang tersebut memanglah
benar. Hal inilah yang terkadang menjadi benturan di kalangan umat Islam
“Puritan” dengan kalangan umat Islam “Sinkretis” (yakni kalangan yang memadukan
antara budaya Islam dengan budaya Jawa seperti: tahlilan, yasinan, sesaji, ngalap berkah, dan sebagainya).[4]
Dengan berpedoman kepada Al-Quran dan As-sunnah, kita akan mengetahui Islam
yang sebenarnya itu seperti apa, dan tentu kita akan mampu membentengi serta
membedakan antara budaya Islam dengan Budaya Jawa.
[1] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006.
Bandung: Remaja Rosdakarya. hal 25
[2] Rusdi
Muchtar. Harmonisasi Agama dan Budaya di
Indonesia 1. 2009. Jakarta: Balai Peneitian dan Pengembangan Agama. Hal 3
[3]
Sutiyono. Benturan Budaya Islam: Puritan
dan Sinkretis. 2010. Jakarta: Kompas, hal 8
[4] Ibid,
hal 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar