Kamis, 07 Mei 2015

BENTURAN ISLAM DAN TRADISI JAWA “ BUKA LUWUR “



BENTURAN ISLAM DAN TRADISI JAWA
“ BUKA LUWUR “

            Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman bahasa, suku, agama, serta budaya. Setiap pulau maupun bagian wilayah yang ada di Indonesia, memiliki kebudayaan tersendiri. Budaya sendiri menurut KBBI ialah pikiran, akal budi atau adat istiadat. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[1]
            Berbicara mengenai budaya, Jawa memiliki keunikan tersendiri. Diantaranya ialah slametan. Slametan menjadi sarana untuk menampung berbagai maksud yang mempunyai makna sosial. Slametan ini berkaitan dengan siklus kehidupan, mulai dari kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian (Geertz, 1960).[2] Namun, hal ini menimbulkan banyak pertentangan antara masyarakat “puritan”, yakni masyarakat Islam yang ingin meningkatkan kadar keislaman masyarakat agar menjadi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dengan cara menolak takhayul, bid’ah, dan khurafat.[3] Banyak dari tokoh-tokoh masyarakat yang menjalankan adat ataupun tradisi Jawa dengan tujuan yang keliru. Dikatakan keliru dikarenakan, mereka melakukan tradisi tersebut dengan harapan akan mendatangkan berkah, keselamatan, atau yang lainnya. Perlu kita ingat bahwa hal tersebut sudah melanggar larangan Alloh SWT. Tradisi yang dilakukan dengan tujuan tersebut, dapat dikatakan sebagai suatu dosa syirik. Syirik ialah menyekutukan Alloh, yakni mengharapkan sesuatu kepada selain Alloh SWT. Seringkali kita menemui tradisi – tradisi atau adat istiadat yang bertentangan dengan agama Islam, sebab tradisi-tradisi tersebut sebagian besar merupakan peninggalan dari ajaran Hindu-Budha.
             Sebagai contoh seperti kliping di depan tadi, yakni tradisi buka luwur. Tradisi buka luwur  adalah ritual  penggantian  kain  kelambu/kain  mori (luwur) yang digunakan untuk membungkus nisan, cungkup, makam, serta bangunan di sekitar  makam. Tradisi ini biasa dilakukan pada 1 Muharam. Sebagian  masyarakat  percaya  bahwa luwur/kain  mori bekas  dari  Makam  Pantaran membawa  berkah dan  rejeki  bagi  yang  mempunyai  karena di  dalam  kain  mori tersebut mengalir  doa-doa,  tahlil,  dan  bacaan  Al-Quran  dari  peziarah  Makam Ki Ageng Pantaran.  Mereka  juga  beranggapan  bahwa  kain  mori  bekas  Makam Ki Ageng Pantaran  dapat dijadikan sebagai jimat bagi orang yang menyimpan. Nasi bungkus (nasi  keranjang/sego  jangkrik)  yang  diperoleh  pada  waktu  ritual Buka Luwur dipercaya berkhasiat. Kepercayaan masyarakat bagi yang makan nasi tersebut akan terjaga kesehatannya. Jika nasi itu dikeringkan dan ditabur di sawah/tanah, maka akan memberikan kesuburan. Nasi yang telah dikeringkan, ditumbuk hingga halus, kemudian dicampur dengan pakan ternak, akan membuat ternak tersebut sehat dan cepat berkembang biak.
            Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbanyak dan terbesar di dunia, masih melakukan hal-hal atau tradisi yang bukan dari ajaran agama Islam sendiri, melainkan akulturasi dari ajaran Hindu-Budha. Perpaduan Islam Jawa yang telah dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Jawa masa lampau ternyata memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan budaya Jawa. Budaya Jawa semakin diperkaya dengan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan pedoman kehidupan bagi masyarakaat pendukungnya. Perpaduan budaya Jawa Islam tersebut tumbuh dan berkembang serta diterima oleh hampir seluruh kalangan. Apabila melihat kasus di atas, tentunya kita sebagai umat muslim merasa sangat miris dan khawatir. Terutama bagi masyarakat Jawa yang memang masih sangat mempertahankan tradisi tersebut. Di dalam Islam sendiri, tradisi-tradisi tersebut sama sekali tidak ada tuntunan/ajaran dari nabi. Bagi masyarakat yang masih mempercayai atau bahkan masih melakukan hal-hal tersebut, sulit diajak kembali kepada tuntunan yang benar. Hal ini dikarenakan mereka belum mengerti Islam secara sebenar-benarnya. Mereka hanya melanjutkan tradisi atau adat istiadat yang diwarisi oleh nenek moyang mereka, dengan berharap mendapatkan berkah, keselamatan, dan sebagainya. Di dalam Islam sendiri sudah jelas mengatakan bahwa, tradisi-tradisi tersebut tidak ada tuntunannya. Banyak dari masyarakat maupun tokoh-tokoh adat yang mengatakan bahwa, tradisi itu harus dilestarikan karena ini merupakan peninggalan dan merupakan warisan budaya nenek moyang kita dahulu. Namun alangkah baiknya jikalau tradisi ataupun adat-istiadat yang saat ini masih dilakukan, harus dibersihkan dahulu dari unsur-unsur kemusyrikan.
            Di jaman Rasulullah dahulu, tidak ada tradisi yang seperti itu. Akan tetapi, di Indonesia sendiri Jawa khususnya, hampir selalu memadukan antara tradisi ataupun adat istiadat dengan agama Islam, seperti mengadakan slametan dengan dibumbui membaca ayat-ayat Al-Quran, tahlilan, doa-doa, dan sebagainya. Perlu  diperhatikan, kita sebagai umat Islam tentunya dalam setiap melakukan suatu ibadah harus berdasarkan tuntunan. Pentingnya belajar kebudayaan ialah kita mengetahui sejarah tradisi – tradisi di jaman dahulu. Bagaimanakah asal-usul tradisi atau adat istiadat tersebut. Sehingga kita akan mengetahui manakah yang tradisi ajaran Islam, dan manakah tradisi yang bukan dari ajaran Islam. Apabila kita sudah mengetahui asal-usul dari budaya atau tradisi tersebut, kita akan lebih mampu untuk memisahkan antara tradisi Jawa dan Islam. Namun, yang menjadi perhatian kita saat ini ialah, mengapa sulit sekali untuk mengubah kebiasaan yang ada di dalam masyarakat.
            Tentunya hal tersebut dilandaskan oleh beberapa faktor, yakni: pertama ialah faktor masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang sudah lama tinggal di daerah tersebut, tentu telah diwarisi oleh bapak-bapak atau leluhur mereka yang terdahulu, tanpa mencari tahu terlebih dahulu, apakah tradisi itu ada di jaman Rosululloh dahulu, ataukah Rosul pernah melakukannya. Benturan Islam dengan budaya Jawa saat ini  menjadi perhatian yang bagi kita yang berperan sebagai umat Islam dan mahasiswa khususnya. Kita harus mampu menceritakan kembali tentang budaya - budaya atau tradisi – tradisi yang hanya diajarkan di dalam agama Hindu-Budha. Karena apa, sebab masyarakat kita sendiri khususnya di daerah Jawa masih sulit untuk membedakan antara tradisi Hindu-Budha dengan Islam. Kedua, yakni faktor lingkungan sekitar. Lingkungan dimana kita saling berinteraksi dan bersosialisasi. Biasanya lingkungan sangat berpengaruh dalam hal ini. Kita berusaha untuk menunjukkan bahwa tradisi atau adat tersebut memang bukanlah hasil dari ajaran Islam, melainkan dari ajaran Hindu-Budha. Akan tetapi, lingkungan masyarakat di sekitar kita tersebut tetap mengaggap bahwa itu adalah tradisi dan adat dari nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu secara turun temurun dan kita harus tetap melestarikan serta tidak boleh meninggalkannya. Lingkungan yang tidak mendukung ini pula menjadi salah satu faktor sulitnya mengembalikan ajaran Islam yang sebenarnya.
            Sering kita temui, apabila ada seseorang yang tidak mau untuk menjalankan ataupun mengikuti tradisi yang bercampur dengan kemusyrikan, tetapi apa tanggapan dari masyarakat? Mereka malah mengucilkan orang tersebut, meraka menganggap bahwa orang tersebut tidak mau bermasyarakat, tidak mau melestarikan tradisi dan adat dari nenek moyang. Padahal apa yang dilakukan oleh orang tersebut memanglah benar. Hal inilah yang terkadang menjadi benturan di kalangan umat Islam “Puritan” dengan kalangan umat Islam “Sinkretis” (yakni kalangan yang memadukan antara budaya Islam dengan budaya Jawa seperti: tahlilan, yasinan, sesaji, ngalap berkah, dan sebagainya).[4] Dengan berpedoman kepada Al-Quran dan As-sunnah, kita akan mengetahui Islam yang sebenarnya itu seperti apa, dan tentu kita akan mampu membentengi serta membedakan antara budaya Islam dengan Budaya Jawa.


[1] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal 25
[2] Rusdi Muchtar. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia 1. 2009. Jakarta: Balai Peneitian dan Pengembangan Agama. Hal 3
[3] Sutiyono. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. 2010. Jakarta: Kompas, hal 8
[4] Ibid, hal 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar